Jumat, 06 Juli 2012

Pentingnya Sebuah Niat Dalam Perniagaan


Segala puji hanya milik Allah Ta’ala, Dzat yang telah melimpahkan berbagai kenikmatan kepada kita semua. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad keluarga, dan seluruh sahabatnya. Amiin.
Niat seseorang memiliki pengaruh yang begitu besar terhadap hukum perbuatan dan ucapannya. Bukan hanya dalam hal peribadatan, bahkan dalam hal mu’amalat (hubungan interaksi sesama manusia) dan juga amal duniawi lainnyapun, niat memiliki peranan yang begitu penting.
Untuk menggambarkan betapa besar pengaruh niat pada hukum amalan dan ucapan manusia, maka saya mengajak para pembaca untuk merenungkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرىء ما نوى. متفق عليه
“Sesungguhnya setiap amalan pasti disertai oleh niat, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan sisi pendalilan dari hadits ini dengan berkata: “Niat adalah ruh, inti dan tonggak setiap amalan, dan amalan adalah cabang dari niat. Amalan akan menjadi sah bila niatnya sah, dan rusak bila niatnya rusak. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyabdakan dua kalimat yang mencakup dan jelas, dan pada keduanya terkandung ilmu-ilmu yang amat berharga. Kedua kalimat itu ialah sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرىء ما نوى
“Sesungguhnya setiap amalan pasti disertai oleh niat, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dengan kalimat pertama, bahwa tiada satu amalanpun yang dilakukan (oleh seseorang) kecuali disertai dengan niat, oleh karena itu tidaklah ada satu amalanpun melainkan disertai dengan niatnya. Kemudian beliau menjelaskan pada kalimat kedua: bahwa pelaku amalan tidaklah akan mendapatkan sesuatu dari amalannya tersebut selain apa yang telah ia niatkan. Dan hadits ini mencakup amalan ibadah, mu’amalah, sumpah, nazar, dan seluruh macam transaksi dan amalan.
Dan hadits ini merupakan dalil bahwa barang siapa yang menginginkan dari suatu transaksi jual-beli untuk dapat menjalankan praktek riba, berarti ia telah menjalankan praktek riba. Upayanya menutupi keinginannya tersebut dengan menampakkan praktek jual-beli tidaklah ada gunanya. Dan barang siapa yang menginginkan dari akad pernikahan untuk dapat menjadikan wanita yang ia nikahi halal (untuk dinikahi oleh mantan suaminya yang telah menceraikannya sebanyak tiga kali), maka ia dinyatakan sebagai muhallil (bandot sewaan), ia tidak dapat terbebas dari fakta ini dengan wujud pernikahan yang ia nampakkan, karena ia telah meniatkan rencananya tersebut.” (I’ilamul Muwaqqi’in oleh Ibnul Qayyim 3/111-112)
Pada lain kesempatan, Ibnul Qayyim juga menjelaskan: “Telah menjadi suatu ketetapan dalam syari’at yang tidak dapat diganggu gugat: sesungguhnya tujuan dan keyakinan seseorang harus dipertimbangkan dalam menilai setiap perbuatan dan ucapannya. Sebagaimana niat diperhitungkan dalam urusan ibadah, maka dalam urusan mu’amalah memiliki peranan yang peting. Niat dan keyakinan menjadi penentua suatu amalan itu halal atau haram, benar atau salah, amal ketaatan atau kemaksiatan. Sebagaimana niat dalam urusan ibadah menjadi penentu apakah suatu amalan itu hukumnya wajib atau sunnah atau haram, benar atau salah. Dan dalil-dalil yang membuktikan akan adanya ketentuan ini sangat banyak.(I’ilamul Muwaqqi’in oleh Ibnul Qayyim 3/95-96)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Sesungguhnya niat dan keyakinan senantiasa diperhitungkan dalam setiap perbuatan dan tradisi, sebagaimana keduanya senantiasa diperhitungkan dalam setiap amal ibadah. Niatlah yang menjadikan suatu hal halal atau haram, sah atau rusak/ batal, atau sah dari satu sisi dan batal dari sisi lain. Sebagaimana niat dalam amalan ibadah menjadikannya wajib, atau sunnah atau haram atau sah atau rusak/batal.” (Al Fatawa Al Kubra 6/54)
Berikut beberapa contoh nyata dari peranan niat:
Contoh pertama:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: مَنْ تَزَوَّجَ امْرَأَةً عَلَى صَدَاقٍ وَهُوَ يَنْوِي أَنْ لاَ يُؤَدِّيَه إِلَيْهَا فَهُوَ زَانٍ وَمَنْ ادَّانَ دَيْناً وَهُوَ يَنْوِي أَنْ لاَ يُؤَدِّيَهُ إِلَى صَاحِبِهِ فَهُوَ سَارِقٌ. رواه البزار والبيهقي وصححه الألباني
“Dari sahabat Abu Hurairah rahimahullah ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Barang siapa yang menikahi seorang wanita dengan mahar tertentu, sedangkan ia berniat untuk tidak menyerahkan mahar tersebut kepadanya, maka ia adalah pezina. Dan barang siapa yang berhutang suatu piutang, sedangkan ia berniat untuk tidak membayarnya, maka ia adalah pencuri.” (Riwayat Al Bazzar, dan Al Baihaqy dan dishahihkan oleh Al Albany)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganggap pembelli (orang yang berhutang) dan lelaki yang menikah bila keduanya berniat untuk tidak menunaikan kewajibannya bagaikan orang yang berzina dan mencuri, sehingga dosanya sama besarnya dengan dosa pezina dan pencuri.” (Al Fatawa Al Kubra 6/59)
Dan pada hadits lain, nabi juga bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ: مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ. رواه البخاري
“Sahabat Abu Hurairah rahimahullah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa mengambil harta orang lain, sedangkan ia berniat untuk mengembalikannya (atau membayarnya), niscaya Allah akan memudahkannya untuk dapat mengembalikan harta tersebut. Sebaliknya bila ia mengambil dengan maksud merusakkannya (atau tidak mengembalikannya), niscaya Allah akan membinasakannya.” (Riwayat Imam Bukhari)
Al Munawi dalam kitabnya Faidhul Qadiir menjelaskan bahwa orang yang berniat dan bersungguh-sungguh mengembalikan harta saudaranya, maka Allah akan memudahkannya dan melapangkan rizkinya, sehingga ia kuasa menunaikan kewajibannya. Sebaliknya orang yang sedari awal berniat merampas hak saudaranya, maka Allah akan memusnahkan harta kekayaannya, dengan cara menimpakan berbagai bencana, cobaan, terlilit hutang dan dihapuskan keberkahan hartanya. (Faidhul Qadiir 6/41)
Saudaraku! Bagaimana dengan diri anda? Tatkala anda berhutang atau meminjam harta saudaramu, sudahkan anda memiliki kesungguhan niat untuk mengembalikannya? Ataukah ada keteledoran dalam merawat dan mengembalikan harta saudaramu?
Selamat menantikan dan menemukan dampak dari niat anda sendiri.
Contoh kedua:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم فِى الْخَمْرِ عَشَرَةً: عَاصِرَهَا، وَمُعْتَصِرَهَا، وَشَارِبَهَا، وَحَامِلَهَا، وَالْمَحْمُولَةَ إِلَيْه،ِ وَسَاقِيَهَا، وَبَائِعَهَا، وَآكِلَ ثَمَنِهَا، وَالْمُشْتَرِىَ لَهَا، وَالْمُشْتَرَاةَ لَهُ. رواه الترمذي وابن ماجة وصححه الألباني
“Sahabat Anas bin Malik rahimahullah menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati sepuluh orang berkaitan dengan minuman khomer: pemerasnya, orang yang memesan untuk diperaskan, peminumnya, pembawanya (distributor), orang yang dibawakan kepadanya, penuangnya (penyajinya), penjualnya, pemakan hasil jualannya, pembelinya, dan orang yang dibelikan untuknya minuman khomer.” (Riwayat At Tirmizi, Ibnu Majah, dan hadits ini oleh Al Albany dinyatakan sebagai hadits shahih)
Ibnul Qayyim berkata: “Tidak diragukan bahwa yang diperas oleh seorang pemeras adalah buah anggur. Akan tetapi karena niatnya adalah ingin memproduksi minuman khomer, maka amalan lahirnya tidak dapat menjadi pelindung dari laknatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Laknat itu menimpanya, akibat dari niat yang ada pada batinnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang semestinya menjadi pedoman anda dalam penilaian suatu transaksi dan amalan ialah hakikat dan tujuan pelakunya, dan bukan sekedar gambaran luar yang berupa ucapan dan perbuatan belaka.” (I’ilamul Muwaqqi’in oleh Ibnul Qayyim 3/95)
Contoh ketiga:
عن أبي رافع رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم اسْتَسْلَفَ من رَجُلٍ بَكْرًا، فَقَدِمَتْ عليه إِبِلٌ من إِبِلِ الصَّدَقَةِ، فَأَمَرَ أَبَا رَافِعٍ أَنْ يَقْضِيَ الرَّجُلَ بَكْرَهُ، فَرَجَعَ إليه أبو رَافِعٍ، فقال: لم أَجِدْ فيها إلا خِيَارًا رَبَاعِيًا، فقال: أَعْطِهِ إِيَّاهُ إِنَّ خِيَارَ الناس أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً. رواه مسلم
Abu Rafi’ rahimahullah mengisahkan: Bahwa pada suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhutang seekor anak unta dari seseorang, lalu datanglah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam unta-unta zakat, maka beliau memerintahkan Abu Raafi’ untuk mengganti anak unta yang beliau hutang dari orang tersebut. Tak selang beberapa saat, Abu Raafi’ kembali menemui beliau dan berkata: “Aku hanya mendapatkan unta yang telah genap berumur enam tahun.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Berikanlah unta itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik pada saat melunasi piutangnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Imam An Nawawi berkata: Pada hadits ini anda dapat mengambil pelajaran: Bahwa dianjurkan bagi orang yang berhutang untuk membayar piutangnya dengan yang lebih baik. Perbuatan ini termasuk amalan sunnah dan akhlaq yang terpuji. Dan amalan ini tidaklah termasuk “piutang yang mendatangkan keuntungan” yang terlarang. Karena yang terlarang ialah tambahan yang dipersyaratkan ketika akad hutang-piutang.” (Syarah Shohih Muslim oleh Imam An Nawawi 11/37)
Andai bukan karena mempertimbangkan maksud dan niat (seseorang), niscaya setiap pelaku riba (rentenir) bila hendak menukar uang seribu (dinar) dengan harga seribu lima ratus (dinar) yang dibayarkan kemudian (dihutang), akan dengan mudah berkata: aku tukar uang seribu milikku ini dengan seribu milikmu, dan aku memberimu hadiah uang sebanyak lima ratus, akan tetapi maksudnya seperti yang saya inginkan.” (Al Fatawa Al Kubra 6/60)
Contoh keempat:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا. الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ. متفق عليه
“Dari sahabat Abu Hurairah rahimahullah ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Janganlah engkau saling hasad, saling menaikkan penawaran barang (padahal tidak ingin membelinya), saling membenci, saling merencanakan kejelekan, sebagian dari kalian melangkahi pembelian sebagian lainnya, dan hendaknya engkau menjadi hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya. Tidak layak baginya untuk menzhalimi saudaranyanya, dan tidak pula untuk berpangku tangan mengetahui saudaranya dianiaya orang lain. Dan tidak layak pula baginya untuk menghina saudaranya.’” (Muttafaqun ‘alaih)
Imam As Syafi’i berkata: Yang dimaksud dengan an najesy ialah seseorang datang ke tempat penjualan suatu barang, lalu ia turut mengajukan penawaran, sedangkan ia tidak berminat untuk membelinya. Ia melakukan hal itu agar calon pembeli lainnya terpengaruh dengan penawarannya, sehingga merekapun menaikkan penawaran mereka sebelumnya. Barang siapa telah mengetahui larangan Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia melakukan penawawan semacam ini, maka ia telah berbuat dosa.” (As Sunan Al Kubra oleh Al Baihaqy 5/344)
Contoh kelima:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: مَنِ احْتَكَرَ حُكْرَةً يُرِيدُ أَنْ يُغْلِىَ بِهَا عَلَى الْمُسْلِمِينَ فَهُوَ خَاطِئٌ. رواه أحمد والحاكم والبيهقي
“Dari sahabat Abu Hurairah rahimahullah ia menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang menimbun suatu timbunan agar dengan cara ini harga menjadi mahal atas umat islam, maka ia telah berdosa.” (Riwayat Ahmad, Al Hakim dan Al Baihaqy)
Penulis 'Aunul Ma’bud berkata: “Pendek kata, alasan diharamkannya monopoli ialah karena perbuatan ini merugikan umat Islam secara umum. Monopoli diharamkan diharamkan bila merugikan umat Islam. Dengan demikian, hukum monopoli berlaku pada makanan pokok dan lainnya, karena monopoli pada komoditi apapun menimbulkan kerugian pada mereka.” ('Aunul Ma’bud oleh Muhammad Syamsul Haq Al ‘Azhim Al Abaady 9/228)
Contoh keenam:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلاَثَةَ قُرُوَءٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُواْ إِصْلاَحًا. البقرة 228
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya jika mereka beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah.” (Qs. Al Baqarah: 228)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Dan seorang suami yang telah menceraikan istrinya berhak untuk meruju’ kembali istrinya, selama masih berada di masa ‘iddah. Ketentuan ini hanya berlaku bila sang suami menghendaki kebaikan dari ruju’ tersebut.” (Tafsir Ibnu Katsir 1/609)
Pada ayat lain Allah Ta’ala berfirman:
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النَّسَاء فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلاَ تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لَّتَعْتَدُواْ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ وَلاَ تَتَّخِذُوَاْ آيَاتِ اللّهِ هُزُوًا. البقرة 231
“Apabila kamu mentalak istri-istrimu lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan.” (Qs. Al Baqarah: 231)
Para ulama’ ahli tafsir menjelaskan bahwa ayat ini adalah larangan bagi para suami dari merujuk’ istri-istrinya walaupun masa ‘iddah masih berlaku, bila tujuannya ialah untuk menyakiti sang istri, dengan memperlama masa ‘iddah. Menyakiti istri yang telah dicerai juga dapat terwujud dengan mengkondisikan istri sedemikian rupa, sehingga sang istri terpaksa mengajukan gugatan cerai khulu’ , sehingga sang istri berkewajiban mengembalikan sebagian atau seluruh mas kawin yang pernah ia dapatkan. (Tafsir Ibnu Jarir At Thabari 5/8)
Saudaraku! Anda pasti mengetahui bagaimana nasib kaum Yahudi yang sengaja melupakan akan asas ini. Tatkala Allah mengharamkan atas mereka untuk berburu pada hari sabtu, maka merekapun memasang perangkap atau jaring ikan pada hari Jum’at, dan pada haru sabtu mereka mengambil hasil tangkapannya.
واَسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعاً وَيَوْمَ لاَ يَسْبِتُونَ لاَ تَأْتِيهِمْ كَذَلِكَ نَبْلُوهُم بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ .الأعراف 163
“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada disekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.” (Qs. Al A’araf: 163)
Atas ulah mereka ini, Allah menimpakan kepada mereka siksa dan azab yang begitu pedih:
فَلَمَّا عَتَوْاْ عَن مَّا نُهُواْ عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُونُواْ قِرَدَةً خَاسِئِينَ. الأعراف 166
“Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya:”Jadilah kamu kera yang hina.” (Qs. Al A’araf: 166)
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menceritakan bagaimana perilaku bangsa yahudi yang berusaha melalaikan akan asas ini.
عن جابر رضي الله عنه أنه سمع النبي صلى الله عليه و سلم عام الفتح وهو بمكة يقول: إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ. فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ فَقَالَ: لاَ هُوَ حَرَامٌ. ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم عِنْدَ ذَلِكَ : قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُومَهَا أَجْمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ. خرجه البخاري ومسلم
Dari sahabat Jabir rahimahullah bahwasannya ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat fathu Makkah (penakhlukan kota Makkah), disaat beliau masih berada di kota Makkah, bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza Wa jalla dan Rasul-Nya, telah mengharamkan jual-beli khamer, bangkai, khinzir (babi) dan berhala (patung)” Lalu dikatakan kepada beliau: “Ya, Rasulullah, bagaimanakan halnya dengan lemak bangkai, karena ia digunakan untuk melumasi perahu, dan meminyaki (melumuri) kulit, juga digunakan untuk bahan bakar lentera?” Beliaupun menjawab: “Tidak, itu (menjual lemak bangkai) adalah haram.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi, sesungguhnya tatkala Allah mengharamkan atas mereka untuk memakan lemak binatang, merekapun mencairkannya, kemudian menjualnya, dan akhirnya mereka memakan hasil penjualan itu.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
Saudaraku! saya yakin, tidak ada dari anda sekalian yang mendambakan untuk menemui nasib serupa dengan nasib yang menimpa bangsa yahudi. Bukankah demikian?
Bila demikian adanya, maka perhatikanlah selalu niat anda dalam setiap aktifitas anda. Berlakulah jujur pada diri sendiri, sebelum anda mengaku berlaku jujur kepada orang lain.
Demikianlah peranan niat dalam perniagaan seorang muslim, semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua. Wallahu a’alam bisshawab.
***
Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar